Terkadang, saya bertanya-tanya, mengapa begitu mencitai buku, sedangkan orang lain tidak. Apakah karena mencintai buku adalah suatu kecenderungan, yang mana menyebabkan hobi membaca adalah suatu kegiatan yang eksklusif dan tidak bisa semua orang miliki.
Jika demikian adanya, amat sungguh disayangkan. Karena semua bermula dari buku—atau setidaknya membaca, ketika kita berbicara tentang konsep ilmu dan informasi yang kini begitu luas dan dapat diraih dari berbagai sumber.
Nyatanya hal tersebut tidak demikian. Kecintaan terhadap buku bukan suatu hal yang eksklusif, karena setiap orang bisa mencintai buku, dan memiliki hobi membaca, seperti saya, atau beberapa kutu buku yang terselip pada bilik-bilik perpustakaan terdekat.
Hal tersebut bisa kita lihat pada Negara-negara maju seperti rumpun Eropa, atau pun Jepang dan Korea Selatan. Mereka memupuk kemajuan dengan membiasakan diri dengan bacaan sedari dini, hingga tumbuh dengan mencinta buku dan memiliki budaya membaca. Pun demkian dengan budaya menulis, karena saya meyakini membaca dan menulis layaknya dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan.
Lalu, mengapa mereka bisa, dan kita tidak bisa?
Saya sempat terjatuh dalam sebuah perenungan yang panjang. Kembali pada pertanyaan, mengapa saya begitu suka membaca, mencintai buku, sedangkan yang lain tidak?
Maka setelah perenungan yang panjang dan mendalam itu, saya sampai pada satu kesimpulan. Ya, perpustakaan. Di masa kini, mungkin perpustakaan merupakan konsep yang sudah usang. Tapi biarpun demikian, saya mengakui, bahwa dari sana lah segalanya bermula.
Saat saya SD, saya kerap meminjam buku di perpustakaan sekolah. Tentang dinosaurus. Saya sangat suka gambar-gambarnya. Koleksinya tidak pernah berganti, tapi saya bisa membolak-balik halamannya puluhan kali. Karena hasrat berlebih untuk memiliki, saya kadang tidak mengembalikan buku-buku itu. Saya kira pihak perpustakaan akan menagihnya, tapi tidak. Saat itu saya berpikir, mereka sangat dermawan. Ini jangan di contoh, ya. Saat itu, sistem peminjaman perpustakaan, apalagi perpustakaan di SD terpencil belumlah berkembang seperti sekarang. Well, meskipun sekarang di beberapa sekolah terpencil masih demikian.
Ketika SMP, sekolah saya bukanlah sekolah unggulan, ataupun favorit. Jadi maaf saja, perpustakaannya kecil. Tapi saya adalah penghuni tetap di sana. Bukan karena saya suka membaca—saya paling hanya membuka beberapa buku dan memandangi gambarnya, luar biasa. Tapi lebih karena saya suka melepas sepatu saya, membiarkan kaki-kaki saya bernapas dan menjejak karpet kering sambil lesehan. Sungguh nikmat. Selain itu, saya memiliki dua teman sejoli yang kerap menemani saya mendekam di perpustakaan yang hanya ramai kalau pelajaran Bahasa Indonesia. Salah satu dari mereka pandai bermain piano. Di perpustakaan ada piano, saya suka melihatnya bermain piano. Dan satunya lagi, entah dengan alasan apa, sepertinya terobsesi menjadi bawahan pegawai perpustakaan. Dia sering membantu petugas perpustakaan, Pak Haris—ah, rindu rasanya—merapikan buku-buku dan alat peraga yang berserakan seusai di gunakan.
Menginjak SMA, tidak banyak buku-buku bergambar yang bisa saya bolak-balik halamannya. Tapi saya tetap suka pergi ke perpustakaan. Pada masa itu, saya punya banyak masalah. Maka saya lebih suka berkubang dalam kesunyian, selain menghindari teman-teman karena tidak punya uang saku soalnya lebih memilih menggunakan mereka untuk digunakan membayar billing warnet, demi memainkan game online yang saya suka. Ehe. Entah bagaimana, dari situlah saya tanpa sadar menjalin hubungan yang begitu erat dengan buku. Karena mamang tidak punya banyak teman selain buku. Saya menobatkan Totto Chan, Gadis Kecil di Jendela sebagai buku favorit saya saat itu. Bahkan setelah lulus, saya langsung menyambar buku kedua yang ditulis oleh Tetsuko tanpa ragu. Sangat menginspirasi.
Menjelang kuliah, karena Surabaya sangatlah panas, maka perpustakaan menjadi suaka bagi mereka yang merindukan kesejukan. Meskipun sebenarnya bisa mendekam di ruang kelas yang tidak di gunakan, tapi saya jamin tidak ada mahasiswa waras yang mau ditinggal sendirian di ruang kelas kampus saya sendirian. Bahkan di siang bolong sekalipun. Maka perpustakaan menjadi tempat paling rasional saat itu. Lagipula, pada beberapa sudut, disediakan kursi malas—sofa—dan ruang lesehan lengkap dengan batal dan busa bagi mahasiswa untuk rebahan. Tumpukan buku-buku usang yang mengelilingi ruangan menjadi penunjang rasa kantuk dan membuat pojok ruangan yang disediakan menjadi tempat yang nyaman untuk menjelajah alam mimpi. Dan ya, di sanalah saya mendapati diri. Terkadang numpang wifi, terkadang tidur siang, lebih sering numpang AC. Tapi di sela-sela waktu, saya terkadang—meskipun jarang—menyempatkan diri untuk membaca buku dari tas saya, ataupun yang saya ambil dari rak perpustakaan.
Tanpa saya sadari, kegemaran yang saya miliki dalam membaca, yang mana begitu berbeda dengan rekan-rekan saya sedikit banyak berkaitan dengan aktivitas saya yang baik secara langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan perpustakaan.
Dari SD sampai dengan kuliah, saya begitu dekat dengan perpustakaan. Bahkan sampai saat ini pun, jika ada seseorang yang mencari di mana saya kiranya, mereka tahu bisa menemukan saya di mana.
Saya sendiri tidak pernah menarget harus membaca berapa kata atau halaman setiap harinya. Hanya saja, hidup di sekeliling rak buku membuat saya begitu kerdil. Ada banyak sekali informasi dan pengetahuan di dunia ini. Mana kala melihat jejeran buku itu, saya menyadari bahwa mereka hanya sekelumit dari pengetahuan dan informasi yang ada di seluruh dunia. Sungguh disayangkan jika buku-buku tersebut hanya dianggurkan, tidak saya baca dan sia-sia. Maka saya mulai membaca, dan begitulah saya mendapati diri gemar membaca.
Memang, perkembangan teknologi membuat kita tidak harus menenteng buku-buku berat ataupun mengunjungi perpustakaan hanya untuk sekadar membaca. Akan tetapi, perpustakaan akan tetap menjadi tempat sekaligus komunitas yang mampu mendekatkan generasi muda pada kegemaran membaca dan menggali informasi yang lebih runut, komprehensif dan terpercaya.
Ilustrasi membaca di perpustakaan via w-dog.pw
Sejak kecil, saya selalu terdoktrin lingkungan bahwa membaca adalah hobi ekslusif. Hobi orang kaya. Tidak semua orang bisa membaca dengan tenang karena urusan perut belum terselesaikan. Harga satu eks buku zaman now bisa digantikan dengan harga satu karung besar. Bahkan sampai sekarang kalimat “Membaca adalah hobi orang kaya” masih terdengar sampai sekarang di telinga saya.
Saat ini, membaca bukan lagi kegiatan eksklusif karena setiap orang punya smartphone dan setiap orang bisa mengakses secara online. Membaca juga kan? Tidakkah membaca sekarang murah? Hehehe…
Salam kenal,
Ulfa Khairina
Justru karena mereka membaca mereka menjadi kaya. Saya juga bukan orang kaya, tapi karena saya tahu orang-orang berhasil karena banyak membaca, maka saya mulai membaca.
Pantas saja tulisan review tentang bukunya juga banyak. Karena ada begitu banyak buku yang dibaca. Saya peibadi sekarang jarang baca buku. Hanya novel-novel Tere Liye yang saat ini tidak bisa ketinggalan.
Sebenernya nggak begitu banyak, heheh. Hanya saja, sebagai pressure diri sendiri agar apa yang dibaca tidak lekas hilang, yaitu dengan membuat sebuah ulasan tentang buku yang selesai dibaca,
saya juga senang ke perpus, hehe, sayangnya perpus di deket rumah jam 3 sore udah tutup hiks, dan kalau weekend cuma buka hari sabtu itupun cuma setengah hari. cuma ya gitu deh kalo perpus daerah ya gak sebagus perpus jakarta pastinya ahahha
Memang susahnya gitu, kebanyakan perpus bukanya pas jam dan kerja. jadi yang kerja dan sekolah kan gak bisa main-main di sela-sela waktu senggangnya.
Halo.. setelah membaca ini jadi ingin bertanya..sekarang sedang maenjalani hari-hari menjadi mahasiswa di kota Surabaya? atau sudah menjadi alumni? ^^ apapun statusnya, semoga tetap meluangkan waktu membaca dimana saja.
Ngomong2 ‘membaca’ dikategorikan dalam hobi orang kaya, sebenarnya relatif. Bahkan kalau sudah suka, prioritas bisa digeser atau diatur-atur. Sebenarnya saya bersyukur sejak kecil sudah kenal buku, walaupun nggak seperti anak-anak kecil jaman sekarang yg orangtuanya sangat niat mencari referensi buku2 terbaik. Jaman dulu saya kenal buku dari lemari kakek saya. Andai mempunyai selemari buku dikategorikan sbg orang kaya – karena beberapa thn tinggal bersama kakek nenek-, saya benar2 bersyukur. Saya bisa membaca majalah2 lama masa kecil tante dan om saya, seperti mentari dan beberapa bobo. Kemudian perpustakaan juga menyediakan banyak bacaan aman untuk siswa, seperti buku2 anak saat SD, kemudian hikayat dan roman terbitan Balai pustaka saat saya SMP (masih gress bau dan kemasannya bagus 😀 ), lalu perpustakaan SMA mulai beragam… mirip dengan isi perpustakaan daerah (mulai sastra sampai buku2 manual komputer dan internet). Kalau ingin buku jenis beragam lagi seperti novel populer ala Harry Potter, RL Stine, S.Mara Gd, dan komik segala rupa, jelas larinya ke rental/persewaan komik dan novel. Tentu utk menyewa perlu uang, dan saya menggunakan uang jajan utk meminjam buku2 jenis ini. Kuliah, saya nggak terlalu suka buku2nya perpus karena isinya matematika textbook semua dan bukan bentuk matematika populer, tapi saya suka di ruang tersebut karena menyediakan internet dan komputer gratis untuk sejurusan. Sedangkan mampir ke perpustakaan pusat untuk seluruh jurusan, termasuk jurusan sastra, saat itu sangat enggan, karena tugas di jurusan sendiri juga begitu banyak xD.
Jadi, balik lagi… kalau membaca buku (atau mengoleksi buku) dibilang hobi orang kaya, agaknya sangat relatif sekali. Banyak orang kaya (berduit) tidak suka mengoleksi buku. Ada yg memilih membeli action figure, rutin mendatangi konser, trip ke luar negeri tiap sekian bulan sekali, dan beragam jenis kesenangan yg memerlukan uang tidak sedikit. Sedangkan membaca buku, tidak harus ‘membeli’ dahulu. Bisa meminjam di perpus, mengikuti ‘bookcrossing’, mengikuti blogtour dan giveaway, mencari layanan buku gratis di internet, serta kalaupun ingin membeli…masih bisa membeli preloved atau buku bekas dari pembaca lain atau di toko ‘secondhand book’. Ah, sekarang juga banyak cerita2 dan berita gratis di internet. Urusan isinya bagus atau tidak, atau bahkan kredibel atau tidak, itu pembahasan lain. Selalu ada jalan utk mendapatkan bacaan, bila keinginan sudah ada. ^^
Salam
Benar sekali. sekarang pun, sudah ada banyak cara yang lebih murah meriah untuk bisa membaca. entah itu ke perpustakaan, via e-library, atau hunting buku bekas dan diskonan. tentu, tidak saya sarankan untuk melakukan pembajakan, karena itu kejahatan yang keji. masih ada banyak cara yang sah dan legal untuk bisa membaca secara cuma-cuma. termasuk dengan meminjam buku tetangga. membaca buku nggak berarti harus memilikinya. kecuali memang berniat menjadi kolektor.
Sama banget, sejak SD suka banget ke perpus. Tp bukan perpus sekolah (karena sekolah perpusnya ga selalu dibuka 😅), tapi perpus pemda deket kantor bupati. Sampe pernah kekunci di dalem perpus karena baca dipojokan dan penjaga perpusnya ngira di dalem udah ga ada orang.
Wah, pengalaman anda mendebarkan.
Waktu saya kecil, Ayah saya bekerja di Jakarta sementara saya tinggal di kampung. Ayah saya pulang sebulan sekali, tapi kedatangannya selalu istimewa karena ia selalu datang membawa setumpuk buku. Buku bekas, memang. Kadang dia bawa majalah mobil, komik, novel.. Sampai akhirnya itu jua lah yang membuat saya semakin mencintai buku sampai sekarang.
Sayangnya, peminat buku makin rendah saja makin kesini. Terakhir aku berkunjung ke pasar buku di jakarta, pedagangnya pun banyak yang mengeluh karena tempatnya sepi. Kurasa ini pe er besar pemerintah untuk meningkatkan literasi masyarakat +62.
Kalau dibilang rendah atau turun, mungkin karena sekarang zamannya udah berubah. kalau menurut saya sendiri, ada peningkatan budaya literasi dalam bentuk digital. Entah itu lewat sosmed, platform berita, blog, atau mungkin seperti medium, wattpad dan lain-lain. hanya saja, buku fisik kini menjadi sangat lesu karena popularitas buku digital. belum lagi, pembajakan yang masih menjadi masalah serius di negeri ini.
Wah, senang rasanya mengetahui ada orang lain yang mencintai membaca buku dengan sangat. Saya sangat tersentuh dengan pernyataan bahwa ketika kita berada di antara rak-rak perpustakaan, kita baru berada di secuil ilmu di dunia, dan dari secuil itu kita juga belum menyelesaikan membaca kebanyakan buku di sana. Ada juga kesadaran bahwa membaca buku bukanlah merupakan hobi yang ekslusif, saya agak setuju dengan pemikiran itu, tapi alasan yang dikemukakan di atas juga masih masuk akal bagi saya. Membaca buku masih menjadi hambatan bagi beberapa orang, ada yang terkendala akses ke buku, tersandung tuntutan perut dan hidup, waktu yang untuk istirahat tidur saja sempit, bahkan keterbatasan bahasa dan aksara juga merupakan sedikit faktor.