Setiap saya membeli buku, saya selalu membaca setiap kata yang ada di dalamnya, sepertihalnya kata pengantar, ucapan terimakasih, bahkan informasi remeh buku yang kerap kali dilewatkan oleh orang-orang pada umumnya. Mungkin saya terdengar aneh, tapi, well, saya sudah membeli buku-buku itu dengan uang, dan saya menghargai jerih payah saya dengan secara harfiah membaca habis buku yang telah saya beli.
Apa yang saya temukan, dan sungguh mengejutkan ketika menyelesaikan buku pertama dari serial Eragon ini adalah, bahwasanya Christoper Paolini menyelesaikan draft pertama di usia yang sangat belia, yaitu 15 tahun. Menjadikannya sebagai pemegang rekor penulis novel berseri termuda di dunia! Sungguh suatu prestasi yang luar biasa dan sangat mencengangkan.
Tapi bukan hal itu saja yang membuat saya terkagum.
Meskipun pada awalnya agensi yang menerbitkan karya pertama Christoper ini merupakan milik dari ayah dan ibu mereka, tapi hal tersebut merupakan suatu bentuk dukungan luar biasa atas orang tua kepada anaknya. Di Indonesia, di usia sebelia itu, para orang tua mungkin akan memarahi anak-anaknya ketika mendapati mereka terlalu banyak menonton televisi, bermain-main, ataupun membaca buku-buku fiksi yang mengumbar imajinasi.
Alih-alih memerintah anaknya untuk banyak membaca buku pelajaran yang membosankan, kedua orang tua Christoper mendorong anaknya untuk menciptakan sebuah karya sesuai dengan apa yang diminatinya. Luar biasanya lagi, saudara-saudari, teman terdekat, dan kakek nenek mereka juga memiliki andil yang besar dalam kelahiran novel pertama seorang anak berusia 15 tahun ini.
Suatu hal yang mungkin akan sangat sulit kita temukan di Indonesia.
Terlepas dari kecemburuan saya terhadap support system yang dimiliki oleh Christoper Paolini tatkala menyelesaikan novelnya, anak berusia 15 tahun ini telah berhasil membuat sebuah karya yang bisa dikata luar biasa. Meskipun kurang populer dari beberapa novel pada genre yang sama seperti Harry Potter, Lord of The Rings, ataupun serial Percy Jacson, namun kualitas Eragon mungkin bisa disandingkan dengan karya-karya tersebut.
Well, tanpa berbasa-basi lagi, berikut beberapa informasi umum terkait Novel Eragon karya Christopher Paolini:
Judul | Eragon (Warisan) |
Penulis | Christoper Paolini |
Penerbit | Gramedia Pustaka Utama |
Cetakan | Sebelas, Agustus 2019 |
Genre | Fiksi, Aksi, Fantasi |
Halaman | 568 |
Harga | Rp. 109.000 |
Sinopsis
Suatu hari Eragon menemukan sebuah batu eksotis dari sebuah hutan misterius. Tanpa disangkanya, batu itu ternyata merupakan telur seekor naga, yang entah bagaimana telah dicuri dari Kekaisaran. Eragon menghabiskan hari-hari yang membahagiakan Bersama bayi naga kecilnya, Shapira, sampai beberapa utusan Kekaisaran dating dan membumihanguskan persawahan beserta dengan paman yang telah membesarkannya.
Dilanda amarah dan dendam, Eragon mengejar utusan kekaisaran untuk menuntut keadilan atas kematian pamannya. Ia ditemani sang pendongeng misterius, Broom yang memiliki banyak pengetahuan dan mengajarkan berbagai hal tentang naga dan arti penting menjadi seorang penunggang.
Petualangan demi petualangan mereka lewati. Banyak hal yang dipelajari oleh Eragon. Mulai dari seni bela diri sampai dengan penggunaan sihir. Akan tetapi, semakin jauh mereka pergi dari kampung halaman, Eragon semakin terseret ke dalam permasalahan yang tak hanya seputar dirinya, atau balas dendamnya. Lebih dari itu, nasib seluruh dunia kini bergantung di tangannya.
Mampukah eragon membalaskan dendamnya?
Plot dan Jalan Cerita
Sebenarnya, jalan cerita pada novel Eragon ini bisa saya katakana cukup sederhana. Objectivenya pun tidak muluk-muluk, yaitu kehidupan seorang Eragon yang berubah seketika saat ia menemukan sebuah telur naga, yang mana menyeret keluarganya dalam sebuah bencana dan menuntutnya untuk membalaskan dendam keluarga kepada Ra’zac. Di sana lah para pembaca disuguhkan berbagai petualangan, kejutan dan hal tidak terduga. Tentang seberapa besar musuhnya, keberadaan kaum Verden yang mungkin bisa jadi sekutu sekaligus perlindungan baginya, serta intrik politik yang ternyata lebih rumit dari apa yang dibayangkannya.
Saya sangat suka bagaimana penulis, yang sekali lagi menulis novel ini pada usia 15, membangun sebuah plot dari yang sangat sedehana, perlahan menanjak menjadi rumit dan penuh intrik. Pada novel pertama ini, bisa saya katakan intrik politik belum terlihat, tapi saya mencium keberadaan penghianatan dan tragedy yang menyedihkan pada buku-buku setelahnya.
Dari sini, saya bisa melihat penulis tumbuh, serta mengajak para pembacanya untuk tumbuh bersamanya. Dari bacaan fantasi petualangan yang ringan dan sederhana, menuju bacaan kompleks yang menuntuk kejelian dan kemampuan analisis yang mendalam. Yang mana, itu semua belum benar-benar digambarkan melalui buku pertama ini, namun pertanda dan clue-cluenya sudah disebarkan pada setiap sisi cerita. Dengan begitu, bisa saya katakana Eragon merupakan sebuah karya yang cukup matang, untuk sebuah novel yang dibuat oleh anak berusia 15 tahun.
Setting dan Penokohan
Eragon menciptakan dunia sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan dunia yang sekarang kita tinggali. Sedangkan dunia yang dibangun memiliki kemiripan dengan abad pertengahan khususnya ketika kerajaan dan kekaisaran masih menjadi penggerak dunia. Tidak ada masalah ataupun keganjilan yang begitu berarti pada setting atau latar belakang.
Hanya saja, saya merasa sedikit terganggu dengan penokohan Saphira, naga yang dimiliki oleh Eragon, yang meskipun secara harfiah usianya tidak lebih dari—mungkin dua tahun, tapi sudah memiliki gambaran dan perawakan yang besar, bahkan mampu membawa dua orang terbang bersamanya.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah pertumbuhan seekor naga, memang secepat itu. Meskipun naga adalah seekor mahluk mitologis, saya masih berpegang teguh bahwa mereka tumbuh sebagaimana mahluk lainnya. Manusia saja membutuhkan waktu setidaknya dua puluh tahun hingga tubuhnya benar-benar mencapai puncaknya, kambing saja 3-5 tahun, apalagi seekor naga.
Tidak sampai di sana, dengan umur yang sangat belia, Saphira seolah telah memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan yang lebih daripada seorang yang berumur ratusan tahun. Dari mana dia mendapatkannya, well masih menjadi misteri. Mudah-mudahan Christopher Paolini tidak melewatkan hal ini dan menjelaskannya pada novel selanjutnya.
Selanjutnya, saya sukses dibuat bingung dengan kekuatan Elf yang menurut saya overpowered. Elf yang paling lemah bisa mengalahkan manusia dengan mudah. Pertanyaannya, mengapa selama ini Elf hanya bersembunyi? Padahal jelas-jelas jika Raja Galbatorix menemukannya, dia tidak akan tinggal diam, bahkan mungkin akan segera mengobarkan panji peperangan.
Selan itu, dengan sekutu kaum Verden dan para Kurcaci, jika memang Elf sekuat itu, memiliki rahasia keabadan atau umur Panjang, tentu bisa dengan mudah merontokkan kekuasaan Raja Galbatorix yang sekarang hanya memiliki sekutu kaum Urd dan Shade, selain pasukan manusianya yang tidak berarti banyak di hadapan Elf. Apa yang sedang para Elf tunggu? Kejayaan kembali para Penunggang? Well, saat ini penunggang yang teridentifikasi hanyalah Eragon. Adapun jika penunggang lain terlahir, hanya akan ketambahan dua orang saja. Karena memang telur naga yang bersisa hanya tiga biji.
Lalu apa yang membuat penunggang ini begitu special sampai para Elf yang sebenarnya cukup mumpuni harus menunggu selama berabad-abad, bersembunyi dari Raja Galbatorix yang telah kehilangan sekutu-sekutu terkuatnya?
Siapa yang Harus Membaca Eragon
Bagi kamu yang tertarik dengan kisah-kisah fantasi, petualangan, hal-hal yang berbau atau memiliki setting abad pertengahan yang kental dengan peperangan yang epic, maka kamu wajib membaca novel ini.
Novel ini memang cukup tebal dengan ukuran font yang lumayan kecil dan rapat. Tapi jalan ceritanya sangat rapi dan mengalir, Christopher Paolini memiliki bakat yang mumpuni untuk menyajikan cerita yang apik dan tidak membosankan. Sehingga membaca Eragon seperti membaca sebuah buku dongeng.
Selain itu, saya tidak mengkategorisasikan novel ini sebagai novel yang berat dan kompleks seperti karya Dan Brown ataupun Victoria Aveyard. Objective atau konflik dalam novel ini bisa dibilang cukup sederhana. Tidak banyak tokoh-tokoh baru dan konflik dengan layer yang tebal. Jadi mudah diingat bahkan ketika anda tidak konsisten membacanya.
Penilaian & Kesimpulan
Untuk kemampuan bercerita yang begitu mengalir, penggambaran yang cukup realistis, serta konflik yang sederhana tapi mampu menyedot perhatian pembaca, saya memberikan rating 4.3/5 untuk novel Eragon. Ya! Saya tidak sabar untuk membaca seri berikutnya dari Trilogi Eragon, sekaligus memiliki ekspektasi yang tinggi pada karya-karya setelahnya. Mudah-mudahan Christopher Paolini mampu menjawab tuntutan pembaca barunya yang bukan siapa-siapa ini, hehe.
Nantikan review selanjutnya!