Novel ini saya adopsi dalam sebuah bazar buku Gramedia, yang mana harganya telah didiskon habis-habisan. Bersama dengan banyak novel dan buku nonfiksi murah meriah lainnya, novel ini menjadi salah satu selingan bacaan dan hiburan ringan untuk saya.
Sebenarnya, saya cukup menikmati membaca novel ini. Meskipun ada beberapa kekurangan dan keganjilan yang seolah melukai akal sehat saya, tapi tetap bisa saya maklumi karena novel ini juga menawarkan kompensasi melalui kelebihan lainnya.
Apa yang saya sayangkan adalah bahwasanya novel ini harus dilempar pada rak buku obralan, yang mana sebenarnya beberapa novel teen lit dengan logika dan gaya bercerita yang amburadul justru sangat laku dan disukai banyak remaja, bahkan sampai dicetak ulang beberapa kali.
Saya bertanya-tanya, apakah tipikal pembaca kita yang memang tidak terganggu dengan cacat logika yang ada di setiap sisi cerita, ataukah para penerbit yang menutup mata karena melihat pasar yang besar di depan mata?
Oke, sepertinya ini sudah menjadi pengantar yang terlalu panjang. Langsung saja kita mulai ulasannya.
Judul | Devil’s Game |
Penulis | Cerberus Plouton |
Penerbit | Bukune |
Cetakan | Cetakan Pertama, 2014 |
Genre | Fiksi, Horror, Misteri |
Halaman | 210 |
Harga | 20.000 (Harga obralan) |
Sinopsis
Devil’s Game menceritakan sebuah permainan Setan yang bernama Sadapti. Lima orang membentuk sebuah lingkaran, menyalakan lilin, dan mulai bercerita seram. Mereka harus menutup mata, dan tidak sekalipun diizinkan untuk saling berbicara ataupun menghentikan permainan.
Sebenarnya, Sadapti sendiri merupakan permainan yang sangat mirip dengan permainan jepang—saya lupa namanya, namun melibatkan seratus orang. Didorong oleh kebosanan dan rasa penasaran, Rene, Devina, Rhodeo, Nanda dan Abhirama melakukan permainan tersebut.
Akan tetapi mereka melanggar pantangan, orang keenam nyatanya datang dan ikut bercerita. Perlahan, kisah-kisah seram yang diceritakan oleh setiap tokoh menjadi kenyataan dan menghantui mereka semua.
Judul & Desain Sampul
Desain sampul depan menggambarkan sebuah pentagram, dengan ukiran aksara jawa di tengah pentagram tersebut. Saya jadi bertanya-tanya, di satu sisi penulis ingin mengangkat tema lokal, namun tidak bisa terlepas dari simbol-simbol kebaratan yang tidak relevan dengan lokalitas. Hal tersebut juga bisa dilihat dari Judul. Alih-alih menggunakan judul yang kebaratan, mengapa tidak langsung to the point pada: Sadapti, Permainan Setan atau apalah. Selain itu, nama pena juga menggunakan nama barat, yang mana menjadi rancu bagi pembaca.
Meskipun ini adalah sesuatu yang sederhana, bagi sebagian pembaca ini adalah hal yang penting. Alih-alih memberikan kesan yang kuat, dua unsur yang berlawanan justru membuat konten novel menjadi inkonsisten.
Ide Cerita, Kisah Mistis, dan Logika Berpikir
Ide ceritanya cukup menarik, dan membuat pembaca merasa penasaran dan terus mengikuti kisahnya. Ada aspek misteri yang membuat para pembaca bertanya-tanya, siapa pelaku dan bagaimana ending ceritanya. Penulis sangat berhasil mengarahkan para pembaca untuk menebak siapa di antara dua tersangka yang merupakan dalang yang sesungguhnya. Selain itu, plot twist yang dihadirkan dalam ending cerita juga lumayan halus, tidak mendadak, dan sangat pas.
Meskipun kisah mistis atau kisah seram yang dihadirkan oleh penulis amat sangat pasaran dan tipikal kisah-kisah seram di sekolah yang sudah banyak saya dengar, namun cara bercerita penulis yang begitu mengalir membuat saya tetap merinding, dan seolah merasa itu adalah kisah yang segar. Sekaligus membuat saya nostalgia dengan sekolah saya yang juga seram, ehehe.
Logika berpikirnya cukup runut dan sistematis. Jadi, pembaca tidak akan bingung dengan narasi besarnya. Meskipun, ada beberapa hal ganjil yang membuat saya terganggu. Dari segi karakter, kebanyakan karakter dapat dikata terlalu polos, dan cenderung bodoh. Meskipun beberapa dari mereka sering menang olimpiade dan ikut bimbel di mana-mana. Mereka seperti tokoh yang statis, bahkan cenderung dipaksakan harus pasrah menghadapi segala kemalangan yang menimpa mereka.
Dari segi cerita, motif membunuh dan menyengsarakan dari kedua tokoh atagonis menurut saya kurang kuat dan kurang terkait. Maksud saya, bagaimana bisa seorang membenci tanpa pernah berinteraksi satu sama lain? Secara tidak sadar, saya khawatir hal seperti ini justru akan menegaskan pada pembaca di bawah umur, bahwa membenci seseorang itu tidak mengapa, asalkan memiliki alasan. Tapi, alasan untuk membenci dan mendengki haruslah kuat, untuk bisa sampai pada tahap ingin membunuh dan menyengsarakan. Jika karena begitu saja, well… rasanya jadi kurang menarik dan kurang realistis saja.
Gaya Bahasa dan Diksi
Tidak ada yang bisa saya komentari dari aspek ini. Sejauh ini penulis cukup membuat saya nyaman dengan gaya bahasanya. Saya tidak bisa berkata bagus, namun tidak juga bisa berkata kurang bagus. Sejauh ini, cukup saja.
Apa yang Saya Suka dan Tidak Suka
Meskipun saya telah mengutarakan beberapa keunggulan dan kelemahan pada beberapa pembahasan sebelumnya, namun sekiranya perlu saya utarakan apa yang sangat saya suka dan tidak saya suka, atau mengganggu menurut saya.
Faktanya, tidak ada yang benar-benar saya suka dari novel ini, eheheh. Tapi biarpun demikian, saya tidak pernah menyesal membeli novel ini karena untuk penulis yang tidak se-terkenal Tere Liye, Cerberus Plouton cukup menghibur pria malang yang kesepian ini dengan kisah-kisah seram yang biasa tapi tetap memukau dalam suatu cara.
Berlanjut pada hal yang mengganggu dan paling tidak saya suka, penulis tidak memberikan harapan sama sekali pada setiap karakter untuk melawan atau mencapai suatu penyelesaian. Hal tersebut membuat pembaca frustasi, sekaligus mencari-cari makna: mengapa saya membaca cerita ini?
Setiap pembaca menginginkan sebuah penyelesaian. Entah pada akhirnya setiap tokoh berhasil mencapainya, atau malah tidak sama sekali. Itu persoalan lain lagi. Tapi pada Devil’s Game, dari awal penulis tidak memberikan harapan atau solusi bagi para tokohnya. Padahal, jika solusi tersebut ada, mungkin cerita akan menjadi lebih seru dan menegangkan. Dan mungkin, penulis juga bisa menyisipkan sebagian adegan aksi, eciecie.
Penilaian & Kesimpulan
Untuk sebuah novel yang saya temukan dalam etalase diskonan, saya berikan anugerah penilaian 3.8. Saya tidak kejam, bahkan saya sudah sempatkan kesempatan untuk memberikan ulasan, yang mana sangat jarang saya lakukan kalau novel atau buku yang saya baca tidak penting-penting amat. Intinya, ini adalah sebuah novel yang cukup berkualitas dalam kelasnya. Devil’s Game menyajikan sebuah cerita horror misteri, penuh teka-teki tanpa cacat logika yang begitu berarti.