Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan buku ini. Bukan hanya karena ini adalah buku dengan genre nonfiksi yang memang jarang saya baca, namun karena kepadatan dan kedalaman materi yang disampaikan dalam setiap paragraf memaksa saya untuk mengambil napas kapan pun memungkinkan.
Sebagaimana judulnya, buku ini menghadirkan sejarah peradaban umat manusia. Khususnya, pada berbagai revolusi yang pernah Homo Sapiens lakukan. Mulai dari revolusi kognitif, yang mana menjadikan Homo Sapiens begitu berbeda dari jenis manusia sebelumnya, revolusi pertanian, industri, hingga revolusi zaman modern lainnya. Semuanya dijelaskan dalam rangkaian bab dan sub-bab yang sistematis, ringkas dan padat.
Kerap kali saya harus berhenti setelah membaca satu halaman, meresapi dan mengulang kembali. Kerap juga saya tertegun, karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penulis sungguh diluar imajinasi saya. Menggugah kesadaran, menginspirasi pikiran, sekaligus menantang kebenaran.
Tatkala membaca buku ini, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa kehidupan Homo Sapiens bukanlah apa-apa dalam rentang kehidupan semesta. Tapi meskipun hidup cukup singkat, kita telah membuat terlalu banyak perubahan dibandingkan para pendahulu. Baik dari segi positif, maupun segi negatif. Terlebih pada umat manusia sendiri.
Diri kita ini, atau yang kita sebut Homo Sapiens, memiliki banyak kerabat yang mungkin pada satu zaman hidup berdampingan satu sama lain. Di Indonesia sendiri ada Homo Soloensis, Wajakensis, dan Floresiensis. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa hanya Homo Sapiens yang mampu bertahan sampai sekarang?
Ada banyak hipotesis. Mulai dari seleksi alam, bencana maha dahsyat, hingga predator yang kuat. Tapi tatkala melihat beberapa kerabat ular-ularan, ayam-ayaman, hiu-hiuan, dan banyak spesies yang memiliki ciri fisik identik yang mampu bertahan hingga sekarang, secara berdampingan, Yuval Noah Harari mengajukan sebuah praduga yang membuat saya entah bagaimana merasa amat berdosa.
Bahwa satu-satunya mahkluk yang patut dicurigai atas kepunahan para manusia purba, kerabat-kerabat kita, tak lain adalah Homo Sapiens sendiri. Simpanse alpha memiliki naluri untuk memimpin sekelompok kecil dari jenisnya. Tapi Homo Sapiens bermimpi untuk memimpin dunia dengan membumi hanguskan siapa pun yang menghalangi jalannya.
Homo Sapiens memilih siapa yang boleh bertahan dan siapa yang harus dimusnahkan. Bagi jenis manusia purba, Homo Sapiens adalah bencana, sekaligus predator yang serakah dan mengerikan.
Hal tersebut tidak hanya terjadi kepada kerabat-kerabat manusia purba, namun juga beberapa jenis binatang raksasa. Ketika Homo Sapiens pertama kali menginjakkan kaki ke dataran yang asing, salah satu hal yang dilakukannya adalah membuat lingkungan tersebut menjadi cukup bersahabat bagi kita dan keturunan kita. Meskipun pada awalnya hidup secara nonmaden, lambat laun kita mulai menetap di beberapa tempat dan membangun peradaban di sana. Tentunya, hal tersebut terwujud ketika alam sudah jauh lebih bersahabat. Dan jalan untuk menuju ke sana, mungkin dipenuhi api dan darah.
Homo Sapiens membunuhi dan bertanggung jawab terhadap hilangnya sebagian besar spesies di muka bumi. Apa yang tersisa, dan boleh bertahan adalah apa yang menguntungkan bagi manusia. Kucing, anjing, kambing, ayam, dan beberapa kerabat unggas dan pakan bagi manusia relative beragam. Karena binatang-binatang tersebut mudah dikuasai dan menguntungkan. Begitu pula terhadap tetumbuhan.
Selama membaca buku ini, ada banyak sekali pembahasan menarik dan prespektif baru yang menambah wawasan saya. Tapi hal paling menarik bagi saya adalah ketika penulis membahas tentang kebahagiaan. Banyak orang bijak yang mengatakan bahwa tujuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan.
Selama ribuan tahun, peradaban manusia berkembang. Manusia menciptakan penemuan-penemuan dan teknologi yang dapat mempermudah kehidupan dari setiap generasi. Tapi, penulis kembali membuat saya tertegun dengan mempertanyakan;
Benarkah penemuan dan inovasi membuat Homo Sapiens lebih bahagia?
Pengembangan pengetahuan dan penerapan teknologi pada setiap zaman memang relatif membawa perbaikan. Taraf hidup masyarakat meningkat, begitu pula harapan hidup yang kita miliki. Selama dua abad terakhir, kedokteran modern telah menurunkan tingkat kematian anak dari 33 persen menjadi kurang dari 5 persen. Tapi apakah itu membuat manusia lebih bahagia?
Nyatanya, kita tidak bisa menakar kebahagiaan sebagaimana kita tidak bisa mengatakan bahwa manusia yang hidup di zaman ini lebih bahagia dari manusia yang hidup dua ribu tahun lalu. Pada zaman itu, hidup mereka memang sulit. Tapi biar pun demikian, hal-hal sederhana seperti ‘bisa makan tiga kali sehari’ mampu membuat mereka sama bahagianya sebagaimana kita ketika mendapatkan hadiah ulang tahun berupa smartphone keluaran terbaru.
Selalu ada yang bisa disyukuri dan membuat manusia berbahagia.
Sangat sulit untuk menakar kebahagiaan, apalagi memetakan faktor-faktor yang membuat manusia bahagia di berbagai zaman. Di satu zaman saja, kita akan menemukan beberapa orang yang hidup kekurangan merasa lebih bahagia dari yang memiliki segalanya. Begitu pula sebaliknya.
Tapi meskipun demikian, manusia mengorbankan terlalu banyak hal untuk hasil yang sebenarnya tidak pasti. Jika memang kebahagiaan yang dicari oleh Homo Sapiens, maka kita telah gagal. Sapi-sapi diperah hingga kering, ayam-ayam hidup dalam petak sempit sepanjang hidupnya, unggas lainnya bahkan tidak pernah menggunakan sayapnya untuk terbang bebas. Padahal hewan memiliki emosi seperti manusia; bisa merasakan senang, sedih, dan kehilangan. Mereka juga makhluk yang mencari kebahagiaan, sama seperti manusia. Tapi manusia yang congkak mengabaikan emosi mereka, kebahagiaan mereka, hanya untuk menemukan bahwa kita tidak lebih bahagia dari nenek moyang kita.
Beratus tahun lalu, hal yang sama juga terjadi pada beberapa ras manusia berkulit gelap. Mereka dianggap tidak jauh berbeda dari hewan, dan hanya dibiarkan hidup selama menguntungkan bagi visi imperialisme. Indonesia, merupakan salah satu korban dari puluhan negara yang harus menderita selama lebih dari 300 tahun pada zaman itu.
Jika memang kebahagiaan yang dicari oleh umat manusia, pantaskah kita mengorbankan kebahagiaan makhluk hidup lain di muka bumi ini?
Jika tidak, lalu sebenarnya apa yang Homo Sapiens cari hingga harus membunuhi kerabat sendiri, merampas kebahagiaan penghuni lain bumi, melakukan banyak perusakan dan tindakan egois lainnya pada planet ini?
Apakah kekayaan, kejayaan, atau Tuhan?
Atau justru, sesuatu yang lebih besar seperti; ‘melampaui Tuhan?’
Saya akan meninggalkan jawaban itu untuk anda temukan sendiri pada buku ini.
thanks